Salah satu gunung tertinggi yang ada di Jawa Barat adalah Gunung Pangrango. Tidak asing bukan mendengar namanya? Meski masih banyak yang salah kaprah dalam mengenal gunung satu ini. Banyak yang mengira kalau Gunung Pangrango dan Gunung Gede adalah sama. Padahal, jelas saja berbeda. Gunung Pangrango memiliki puncaknya sendiri di ketinggian 3019 meter diatas permukaan laut, sedangkan puncak Gunung Gede ketinggiannya adalah 2987 MDPL.
Memang, kedua gunung ini berada di kawasan taman nasional yang sama. Yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sehingga sering dikira gunung yang sama. Apalagi kebanyakan orang apabila hendak mendaki di kawasan TNGGP dan ditanya "mau mendaki kemana?" seringnya menjawab "mendaki gunung Gede Pangrango", padahal kenyataannya dia hanya mendaki ke puncak Gunung Gede saja atau puncak Gunung Pangrango saja. Kenapa dua-duanya disebut sih?!
Karena kedua gunung ini (Gede dan Pangrango) berada di kawasan taman nasional yang sama, sehingga pintu pendakiannya pun sama. Meski jalurnya sama, basecampnya sama, pintu pendakiannya sama, namun kalau bicara pamor, Gunung Pangrango ini masih kalah populer dibanding adiknya, Gunung Gede. Para pendaki kebanyakan akan mendaki ke puncak Gunung Gede di ketinggian 2987 MDPL. Kira-kira kenapa ya?
Gunung Tertinggi Kedua di Jawa Barat yang Kurang Populer
Setelah merasakan sendiri mendaki ke Gunung Pangrango, saya rasa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebanyakan pendaki memilih mendaki puncak Gunung Gede saja daripada ke puncak Gunung Pangrango.
Pertama, tentu saja karena ketinggiannya, yang mana puncak Gunung Pangrango lebih tinggi sehingga mendakinya akan lebih lama dengan trek yang lebih panjang daripada mendaki Gunung Gede. Kedua, jenis trek atau yang harus dilalui ke Puncak Pangrango lebih sulit dan terjal, apalagi untuk para pendaki pemula. Lalu yang terakhir atau ke-3 adalah soal reward, atau apa yang akan didapat dipuncaknya. Lebih jelasnya mari saya ulas lebih terperinci sesuai pengalaman pribadi saya mendaki ke Gunung Pangrango beberapa waktu lalu.
Pengalaman Mendaki Gunung Pangrango 3019 MDPL
Baca Juga: Pesona Gunung Api Purba Nglanggeran Jogjakarta, Dulunya Berada di Dasar Laut
Pagi buta sekitar pukul 3 pagi, rumah sudah diketuk oleh teman yang menjemput untuk berangkat menuju Cianjur, Jawa Barat. Kota tempat salah satu pintu pendakian TNGGP berada. Tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya di kota Sukabumi, apalagi dengan jalanan yang lengang subuh itu, perjalananpun sangat cepat, hanya sekitar 1 jam saja.
Sebenarnya, dekat tempat tinggal saya di Sukabumi, ada 1 pintu pendakian resmi ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yaitu pintu pendakian Selabintana. Hanya saja, jalur ini tidak begitu populer dan jarang dilalui karena konon cukup sulit dibanding 2 pintu pendakian lain yang berada di Cianjur.
Tujuan saya dan teman-teman pagi itu adalah ke basecamp Cibodas di daerah Cipanas, Cianjur. Kami tiba di tujuan sekitar pukul 04:30, pas banget adzan subuh. Seperti yang mungkin teman-teman tau, kalau di Cibodas ini berjejer basecamp untuk transit para pendaki. Kalau mau nginep juga bisa. Selain basecamp-basecamp pendaki, warung-warung sekitaran Cibodas juga bisa dijadikan tempat singgah untuk menginap, kalau-kalau teman-teman berasal dari kota yang jauh dan datang H-1 pendakian. Bayar nginep seikhlasnya saja kok.
Karena masih sangat pagi, kamipun mampir ke salah satu basecamp milik kang Wawan yang sudah kami kenal, namanya Basecamp Mandalawangi. Tempatnya di salah satu warung yang berada di sepanjang jalan Cibodas, tidak jauh dari pintu masuk atau gerbang selamat datang. Eh ngomong-ngomong, tidak habis pikir saya, sepagi itu pintu masuk Cibodas sudah ada petugas portalnya loh, sehingga harus membayar tiket masuk 12.000/orang. Weleh masih subuh loh, Pak.
Untuk saya pribadi ini adalah pendakian ke-3 di kawasan TNGGP, namun menjadi pengalaman pertama memakai jalur Cibodas ini, sekaligus akan menjadi pengalaman pertama juga mendaki ke Puncak Pangrango (2 kali sebelumnya selalu ke Puncak Gunung Gede).
Selesai shalat subuh dan packing ulang perlengkapan, kamipun bersiap untuk memulai pendakian. Pagi itu cuaca cerah, cukup membuat kami percaya diri bahwa hari ini tidak akan turun hujan. Padahal awal september kemarin hujan mulai turun cukup rutin, sehingga dari beberapa hari sebelumnya selalu dibayangi perasaan was-was untuk melakukan pendakian ini. Rencana kamipun sempat mundur satu minggu, dan masih tetap ragu sampai H-3 pendakian. Maklum agak trauma mendaki sambil hujan-hujanan seperti Gunung Salak dan Gunung Merbabu, hihi.
Dari basecamp kang Wawan, kami menuju pintu masuk pendakian cibodas TNGGP untuk mengurusi perizinan. Jaraknya lumayan jauh sekitar 750 meter, 5-10 menit jalan kaki menyusuri rumah dan warung-warung warga. Karena simaksi sudah di urus online, di pos pemeriksaan kami hanya melapor saja untuk selanjutnya dipersilahkan melakukan pendakian.
Pos pemeriksaan - Shelter Simpang Cibeureum (POS 1)
Dari pos pemeriksaan kami mulai mendaki sekitar pukul 07:00. Sengaja jalan pagi-pagi sekali supaya tidak kesorean di trek dan bisa mendirikan camp saat hari masih terang. Rencananya kami akan finish pendakian hari ini di Camping Ground Kandang Badak di ketinggian sekitar 2400 MDPL.
Pagi itu tidak banyak bertemu dengan pendaki lain. Karena hari itu hari minggu, kami hanya bertemu beberapa rombongan yang hendak berkunjung ke Air Terjun Cibeureum. Ya, jalur pendakian Gunung Gede Pangrango via Cibodas ini sama dengan jalur menuju Air Terjun Cibeureum. Sehingga kalau weekend banyak pengunjung yang hendak kesana untuk refreshing. Treknya dari sini masih sangat enak, berupa tangga batu yang sangat rapi. Jadi meskipun menanjak tidak begitu menyulitkan. Masih disesuaikan lah ya dengan keperluan para wisatawan air terjun, karena kan pengunjungnya bervariasi ada orang tua, anak-anak dan semua kalangan.
Sebelum sampai ke shelter Simpang Cibeureum atau pos 1, kita melewati beberapa lokasi iconic dari jalur Gunung Gede Pangrango via Cibodas ini, yaitu ada Telaga Biru dan jembatan Rawa Panyangcangan.
Setelah berjalan kurang lebih 1 jam 15 menit (sudah dengan foto-foto tiap nemu spot, hehe), kami tiba di Pos atau Shelter Simpang cibeureum (ketinggian +- 1600an). Disana ada persimpangan jalan yang memisahkan antara jalur ke Gunung Gede Pangrango dan Curug Cibeureum.
Istirahat sejenak di pos simpang ini karena tersedia bangunan shelter, sambil jajan baso tusuk. Yea, jangan kaget ya kalau sepanjang jalur nemu banyak warung, karena hari ini masih weekend, apalagi banyak wisatawan yang mau ke curug.
Baca Juga: Wisata Gunung Burangrang, Si Kecil Cabe Rawit
Simpang Cibeureum - Rawa Denok 2
Beranjak dari Pos Simpang Cibeureum, shelter berikutnya yang akan dituju yaitu Rawa Denok 1 dan 2. Trek gunung yang sebenarnya di mulai dari sini. Tidak ada lagi tangga batu, tinggal trek gunung berupa tanah dan akar-akar pohon. Meski begitu trek masih aman dan nyaman kok. Kami tidak berhenti di Rawa Denok 1 karena belum terlalu capek (dan gak ada warung sih alasan utamanya xixi). Lanjut menuju Rawa Denok 2 dan tiba sekitar pukul 09:25 atau setelah berjalan +- 1 jam dari Pos Simpang Cibeureum.
Di Shelter Rawa Denok 2 ini ada toilet juga lho. Keren banget kan? Jadi jangan khawatir kalau kebelet di jalur pendakian via Cibodas ini, gak udah melipir ke semak-semak lagi.
Rawa Denok 2 - Batu Kukus 2
Setelah beristirahat lumayan lama (karena sambil jajan gorengan dan semangka), kami lanjutkan pendakian menuju shelter berikutnya yaitu Batu Kukus 1 dan 2. Konon ada Batu Kukus 3 tapi kami gak nemu bangunan shelternya, sepertinya sudah roboh. Seperti biasa tidak berhenti di Shelter Batu Kukus 1 karena masih relatif dekat, lanjut sampai Shelter Batu Kukus 2 dan tiba sekitar pukul 10:20 atau setelah berjalan +- 45 menit dari Shelter Rawa Denok 2. Tidak ada yang spesial di Shelter Rawa Denok 2, warungpun tak ada. Hanya bangunan shelter di tengah hutan yang bisa digunakan untuk beristirahat atau berteduh.
Batu Kukus 2 - Air Panas 2
Beranjak dari Shelter Batu Kukus 2, kami menuju pemberhentian berikutnya yaitu Shelter Air Panas. Salah satu yang iconic juga nih dari jalur pendakian Gunung Gede - Pangrango via Cibodas dan tidak akan ditemui di jalur lain.
Seperti namanya, di Shelter Air Panas ini ada aliran air panas belerang yang berasal dari kawah Gunung Gede. Airnya panas anget-anget kuku, bisa dipakai mandi atau main air, konon bagus juga untuk obat penyakit kulit dan tulang. Tentunya kamipun tidak melewatkan untuk main air sejenak, meski tidak mandi karena perjalanan masih panjang dan lumayan ribet ya kalau harus ganti-ganti pakaian.
Selain para pendaki yang hendak ke puncak, banyak juga para wisatawan yang mengunjungi Air Panas ini, seperti halnya Curug Cibeureum tadi. Mereka datang tek-tok alias pulang pergi hanya untuk mendaki sampai wisata air panas ini lalu pulang.
Kami tiba di Shelter Air Panas dengan ketinggian +- 2100 MDPL pukul 11:00. Jadi, jika kalian wisatawan yang hanya ingin berkunjung ke Shelter Air Panas, total waktu yang dibutuhkan sekitar 4 jam saja. Itu kalau berjalan santai seperti kami kemarin, kalau berjalan tanpa beban di punggung dan tidak banyak istirahat mungkin bisa menghemat 1-1,5 jam.
Air Panas - Kandang Batu
Menurut saya pribadi, trek dari awal sampai Shelter Air Panas ini belum begitu menyulitkan. Meski didominasi tanjakan dan tidak lagi melewati jalur tangga batu seperti ke pos Cibeureum tadi, namun pijakan masih tetap jelas dan mudah. Banyak juga ditemui trek landai di jalur Cibodas ini.
Jarak dari Shelter Air Panas menuju Kandang Batu relatif dekat, hanya perlu sekitar 15 menit saja. Di pos ini tidak ada bangunan shelter untuk beristirahat seperti sebelum-sebelumnya. Hanya saja di pos ini terdapat lahan yang luas untuk mendirikan kemah, kalau-kalau kamu sudah tidak sanggup untuk berjalan sampai camp berikutnya (Kandang Badak), maka bisa camping di Kandang Batu.
Satu spot unik yang menarik perhatian saya di Shelter Kandang Batu ini yaitu adanya air terjun mini. Keren banget deh jalur Cibodas ini, pemandangan yang didapat sangat bervariasi. Dari mulai danau, jembatan kayu yang instagramable, air panas sampai air terjun. Bisa-bisanya aku baru cobain jalur ini sekarang. Hehe.
Kandang Batu - Kandang Badak
Ternyata trek gunung yang sebenarnya baru dimulai dari sini. Beranjak dari Shelter Kandang Batu, tanjakan seperti tanpa ujung, mungkin karena saya sudah mulai merasa kelelahan setelah berjalan hampir 5 jam. Trek sudah mulai di dominasi akar-akar yang sesekali perlu dipanjat. Di trek menuju Kandang Badak ini, kami mulai bertemu banyak pendaki yang hendak turun. Mereka-mereka yang sudah selesai dari puncak dan sudah mendaki sejak kemarin Sabtu.
1 jam sudah kami mendaki dari Kandang Batu menuju Kandang Badak, akhirnya hilal terlihat guys. Dari kkejauhan terlihat bangunan tenda yang artinya kami sudah hampir sampai di Camping Ground Kandang Badak, tempat kami akan menginap. Ah senangnya. Kami tiba sekitar pukul 12:30, artinya pendakian kami dari awal menghabiskan waktu 5 jam 30 menit. Entahlah itu waktu yang cepat, lambat atau normal. Hanya saja, dari pengalaman menggunakan jalur sebelahnya (Gunung Putri), kami menghabiskan 8 jam untuk sampai ke camping ground (Alun-alun Suryakencana). Jadinya pendakian dengan jalur ini serasa lebih cepat.
Tentang Camping Ground Kandang Badak
Kandang Badak adalah salah satu area berkemah yang ada di TNGGP via Cibodas. Tempat camping ini sangat ideal untuk jadi persinggahan sementara para pendaki sebelum menuju puncak (Gede dan Pangrango). Lahan berkemahnya cukup luas, meski tidak seluas Alun-alun Suryakencana tapi bisa menampung sekitar 50-100 tenda.
Selain area landai dan luas, fasilitas yang ada di camping ground ini juga terbilang sangat lengkap. Ada warung (setiap akhir pekan), penerangan bertenaga surya, mushola, mata air hingga toilet. Yes, beneran ada toilet lho. Bahkan di camping ground Alun-alun Suryakencana saja tidak ada toilet (hanya mata air saja), jadi kalau mau buang air tetep harus ke semak-semak. Sedangkan disini, kalau kata orang sunda mah jongjon banget.
Setelah mendirikan tenda, bersih-bersih, beribadah, selanjutnya waktunya bersantai. Tidak banyak yang dilakukan oleh kami sore itu, hanya masak-masak, makan bareng, lalu malamnya istirahat di tenda masing-masing, menyiapkan tenaga untuk besok summit ke puncak.
Summit ke Puncak Pangrango 3019 MDPL
Baca Juga: Lokasi Camping Indah di Kawasan Gunung Bromo
Senin, 19 September 2022. Entah berapa suhu di Camping Ground Kandang Badak pagi itu, yang jelas dingin sekali. Malas rasanya untuk keluar dari kantung tidur, meski sudah masuk waktu subuh. Apalagi rencananya kami akan melakukan summit pagi buta sehabis subuh. Itu sih rencananya. Faktanya, setelah shalat, beres-beres, ngopi + ngeteh dulu buat mengusir dingin, tak terasa jam sudah menunjukan 06:00.
Yah.. kesiangan, tapi gak apa-apa toh puncak tidak kemana kok. Salah satu teman tidak berangkat karena merasa kurang enak badan, dan mungkin karena sudah pernah juga, jadinya dia bertugas menjaga tenda pagi itu. Yuk, letsgo!
Dari camping ground mula-mula kita menaiki anak tangga yang lumayan panjang. Di ujung tangga kita bertemu persimpangan jalan, yaitu lurus untuk ke Puncak Gunung Gede dan belok kanan untuk ke Puncak Gunung Pangrango.
Salah satu alasan kami menggunakan jalur Cibodas karena jalur ini paling memungkinkan untuk ke Puncak Pangrango. Bisa sih lewat jalur lain (gunung putri dan selabintana), tapi lebih jauh dan memutar. Jika menggunakan jalur lain, maka harus melewati Puncak Gunung Gede terlebih dahulu, lalu turun ke jalur Cibodas ini. Pokoknya jauh deh. Jadi, buat teman-teman yang hendak mendaki ke Puncak Pangrango, sangat disarankan melalui jalur Cibodas saja. Kecuali kalau mau lintas jalur atau mau mendaki 2 puncak sekaligus.
Dari persimpangan jalan tadi, kami terus mengikuti petunjuk arah dan tanda-tanda yang dibuat oleh para pendaki terdahulu. Yaitu tali-tali yang dipasang di pepohonan. Kebetulan diantara kami belum ada yang pernah ke Puncak Pangrango, jadi tanda-tanda itu sangat membantu sekali. Jika tidak ada itu, jujur cukup membingungkan karena ada banyak percabangan jalan.
Saya cukup terkaget-kaget dengan jalur yang harus di dilalui menuju Puncak Pangrango, sangat terjal. Mungkin inilah salah satu alasan orang lebih memilih mendaki ke Gunung Gede daripada Gunung Pangrango. Jalur gunung ini terlihat jarang dilalui orang, terbukti dengan tidak banyaknya bekas injakan sepatu, hutan yang rimbun dipenuhi lumut. Selain terjal energinya juga agak beda nih. Heuheu.
Banyak pohon tumbang menghalangi jalur, sehingga kami harus sering memanjat, kadang juga merangkak dibawah tumbangan pohon raksasa. Ketahanan kaki, tangan dan badan sangat diuji. Meski tidak membawa carrier (hanya tas kecil yang berisi air), tapi rasanya cukup melelahkan. Kami tidak banyak istirahat, paling tidak hanya mengambil nafas sedikit, lalu melanjutkan pendakian supaya cepat sampai. Tidak ada pendaki lain yang menemani kami pagi itu, hanya bertemu satu rombongan berjumlah 4 orang sesaat sebelum kami tiba di puncak (mereka sudah mau turun).
Setelah mendaki hampir 3 jam, akhirnya kami tiba di puncak sekitar pukul 9 lewat. A-khir-nya. Puncak Gunung Pangrango 3019 MDPL, begitulah tulisan di sebuah tugu lapuk yang terlihat sudah tua. Tulisan yang hampir tidak terbaca. Tidak ada lautan awan layaknya di puncak gunung gede atau puncak gunung lain. Tidak ada pemandangan landscape 360 derajat, hanya terlihat kawah gunung gede dibalik semak-semak.
Oke, saya jadi tau satu lagi alasan mengapa banyak orang yang mungkin enggan untuk mendaki gunung pangrango. Ibaratnya sudah susah-susah mendaki dengan jalur yang terjal, diatas gak dapet apa-apa. Begitulah kiranya menurut para penghamba kontan, tidak munafik sih saya salah satunya. Hanya bagi saya itu bukan satu-satunya alasan saya mendaki gunung, buktinya saya tetap puas mendaki gunung pangrango yang tidak banyak bonusnya.
By the way, masih ada lho lokasi tersembunyi yang bisa menjadi pelipur lara untuk kamu nikmati di Puncak Pangrango. Tinggal melipir ke belakang tugu, ada sebuah tempat yang sangat indah. Lembah Mandalawangi namanya. Sebuah taman bunga edelweis yang sangat luas. Sedikit mirip Alun-alun Suryakencana, namun bedanya disini lebih asri dan perawan. Bagaimana tidak, jarang didatangi orang sehingga tempatnyapun lebih terjaga dan esklusif.
Apalagi jika kita menilik pada cerita-cerita terdahulu yang berkaitan dengan tempat tersebut, Lembah Mandalawangi ini sungguh tempat yang sangat sakral. Mungkin teman-teman ada yang pernah mendengar cerita tentang Soe-Hoe-Gie aktivis yang juga pecinta alam. Menurutnya Lembah Mandalawangi adalah satu tempat favoritnya.
Gie yang meninggal di pangkuan Gunung Semeru tahun 1969, konon abunya juga tersimpan didekapan Lembah Mandalawangi. Entah benar atau tidak cerita itu, yang jelas setelah saya merasakan sendiri hawa di Mandalawangi memang sesunyi dan setenang itu. Pantas saja jadi tempat favorit beliau untuk menyepi dari riuhnya masalah hidup di jaman reformasi dulu.
Konon selain Soe Hok Gie masih banyak cerita yang berkaitan dengan Lembah Mandalawangi. Malahan disana ada sebuah tugu memorial yang memuat beberapa nama, mungkin orang yang wafat disana atau entahlah saya tidak begitu tau tentang ceritanya.
Pagi itu Lembah Mandalawangi begitu syahdu. Kabut perlahan tertiup angin menyusul langit yang terlihat sangat biru. Saya menikmati beberapa menit yang tenang di Mandalawangi. Tenang sekaligus merinding mengingat bahwa hanya ada kami ber-7 di hampir atap tertinggi Jawa Barat itu. Meski masih sangat betah untuk berlama-lama, namun jam tangan sudah menunjukan pukul 10:30. Kami memutuskan untuk segera menempuh lagi 3 jam perjalann turun ke camping ground, karena kamipun akan turun ke basecamp hari itu juga. Ternyata perjalanan turun lebih cepat 1 jam, yang mana kami sudah sampai campground sekitar pukul 12:30. Masih cukup waktu untuk istirahat, makan, ibadah lalu siap-siap perjalanan turun ke basecamp.
Kami turun sekitar pukul 14:30. Agak kesorean sih, tapi itupun sudah memaksimalkan waktu sebaik mungkin sejak sampai dari perjalanan summit. Perjalanan turun ke basecamp sedikit terkendala oleh teman kami yang mengalami cedera, sehingga tempo perjalanan sangat lambat. Inginnya sampai sebelum gelap, tapi apa daya, jam 6 sore saat adzan magrib kami masih di perjalanan turun, tepatnya masih di POS Curug Cibeureum. Sudah hampir sampai sih, dan Alhamdulillah akhirnya tiba di basecamp Kang Wawan kembali sekitar pukul 19:00.
Penutup
Mendaki Gunung Pangrango sangat direkomendasikan untuk menambah pengalaman mendaki kamu. Apalagi kalau sudah sering ke Gunung Gede, cobalah sesekali melipir agak ke atas sedikit. Mendaki Gunung Pangrango ini sama saja seperti mendaki Gunung Gede dan gunung lainnya. Meski jalur lebih sulit dan terjal namun masih aman kok. Saran saya sebaiknya tidak mendaki saat musim hujan, mengingat tipe treknya yang seperti itu.
Saya pribadi sangat puas dengan pendakian kali ini. Mungkin karena ini adalah puncak 3000 pertama saya, setelah waktu itu gagal di Gunung Merbabu. Pengalaman yang sangat berarti, setidaknya bisa merasakan sendiri dan tidak hanya mendengar dari orang soal Gunung Pangrango. Semoga next bisa mendaki ke puncak-puncak lainnya.
Posting Komentar